Jumat, 21 Desember 2012

makalah implementasi tasawuf


A.    PENDAHULUAN
Implementasi tasawuf sangat penting dalam kehidupan karena sangat berpengaru bagi manusia. Termasuk di dalamnya klasifikasi implementasi yang digunakan.Oleh karena itu ,didalam makalah ini kami ingin mengkajinya,dan semoga dapat memberikan sedikit manfaat bagikita semua.
Unutuk itu,kami akan membahas tentang implementasi tasawuf di kehidupan,baik dalam kehidupan tradisional maupun modern,danjuga dalam kehidupan sehari-sehari.




B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyabutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf yaitu al-suffah (ahl al-suffah/orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa yunani: hikmat), dan suf (kain wol).
Dari segi linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bi yang mulia. Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang berjuang. Definisi tasawuf menurut Al-Junaid, tasawuf adalah unwah (keharusan) yang tidak ada shulh (kelonggaran didalamnya).
2.      Kemunculan dan Pembagian Tasawuf
Kemunculan tasawuf bermula dari abad pertama hijriah sebagai bentuk perlawanan terhadap penyimpangan dari ajaran islam yang sudah diluar batas syariat. Para penguasa saat itu sering menggunakan islam sebagai alat legimitasi ambisi pribadi. Mereka tidak segan-segan menampik sisi-sisi ajaran islam yang tidak sesuai dengan kehendak ataupun pola hidup mereka. Sejak saat itu, sejarah mencatat munculnya pembaruan dikalangan umat islam yang ikhlas dan tulus. Kebangkitan ini kemudian meluas keseluruh dunia muslim. Mereka mendapatkan spirit cahaya nurani dari semangat penghambaan. Cahaya tasawuf terpancar luas tanpa melalui gerakan yang diorganisasikan.
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya yaitu tasawuf akhlaqi, amali, dan falsafi :
a.       Tasawuf ahklaqi yaitu berupa ajaran mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan. Tasawuf ahklaqi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Takhalli
2. Tahalli
3. Tajalli
b.      Tasawuf amali yaitu tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.       Tasawuf falsafi yaitu paduan visi intuitif tasawuf dan visi rasional filsafat.
3.      Implementasi Tasawuf
1. Tarikat
Dari segi bahasa tarikat berasal dari bahasa arab thariqat (jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu). Jamil Shaliba mengatakan secara harfiah, tarikat berarti jalan yang terang, lurus memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat berbeda-beda menurut peninjauan masing-masing dikalangan Muhaddissin tarikat digambarkan dalam dua arti yang asasi. Tarikat menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu dan didasarkan pada sistem yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Selain itu, tarikat juga diartikan sebagai sekumpulan cara-cara yang bersifat renungan dan usaha inderawi yang mengantarkan pada hakikat atau sesuatu data yang benar.
Harun Nasution mengatakan tarikat ialah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Hamba mengatakan bahwa diantara makhluk dan khaliq itu ada perjalanan hidup yang harus ditempuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa tarikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang di dalamnya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam .
Amalan dalam tarikat ini menunjukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Allah SWT. unsur-unsur dalam tarikat:
·      Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
·      Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
·      Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan do’a guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi.
·      Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
 Ada beberapa tata cara pelaksanaan tarikat, sebagai berikut:
·         Zikir yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan nama-Nya dengan lisan.
·         Ratib yaitu mengucapa lafal Laailahaillallah dengan gaya, gerak, dan irama tertentu.
·         Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian instrumentalia seperti memukul rebana.
·         Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
·         Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu. Selain itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarikat sebagaimana disebutkan diatas, perlu mengadakan latihan batin, riyadhah dan mujahadah (perjuangan kerohanian).
2.      Dzikir Sebagai Aktulisasi Cinta
Lafadh dzikir berasal dari bahasa Arab yang menurut bahasa memiliki bermacam-macam arti diantaranya adalah menyebut, mengingat, menuturkan, menjaga, mengerti, dan perbuatan baik. Sedangkan dzikir sebagaimana yang kita pahami selama ini adalah suatu amal perbuatan, baik berupa ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang isinya memerintahkan untuk senantiasa berdzikir (mengingat) kepada Allah SWT. Diantaranya dalam QS Al-Ahzab ayat 41 yang artinya :
wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.”
Dalam sebuah hadits juga disebutkan dzikir kepada Allah merupakan amalan yang terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah dibandingkan dengan menyedekahkan emas dan perak (HR. Baihaqi).
Zikir dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Zikir Jali (zikir yang jelas dan nyata)
2.      Zikir Khafi (zikir samar-samar)
3.      Zikir Haqiqi (zikir yang sebenarnya)
3.      Fakir
Idealisme sufi tentang fakir telah berkembang jauh. Fakir sejati bukan hanya jauh dari barang-barang, melainkan juga ketiadaan hasrat unstuk menguasai barang. Sebutan sebagai fakir atau darwis merupakan sebutan kebanggaan bagi kaum sufi, karena sebutan itu bermakna bahwa dirinya sudah terbebas dari segala sesuatu yang memalingkan diri mereka dari Tuhan.
Macam-macam fakir menurut tokoh sufi, sebagai berikut:
a.       Menurut Abu Zakaria fakir dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.      Orang yang tidak memandang kefakirannya.
2.      Orang yang tidak memandang lagi amal perbuatan, sikap mental dan sikap hidupnya.
3.      Orang yang tidak lagi memandang keadaan diri dan melihat kepada dirinya sendiri yang sudah bebas.
b.      Menurut Al-Ghazali fakir dibagi menjadi lima, yaitu:

1.      Zahid seorang yang diberi harta sedangkan enggan karena benci akan kejelekannya dan khawatir akan disibukan oleh harta yang ia miliki.
2.      Kadhi seorang yang tidak senang mempunyai harta dan tidak juga membencinya serta berlaku zuhud terhadapnya.
3.      Qani seseorang yang lebih suka jika memiliki harta akan tetapi ia tidak disibukan untuk mencari harta tersebut. Jika harta itu suci dan halal, maka ia menerima dengan gembira dan puas terhadap apa yang dimilikinya.
4.      Harish yaitu seseorang yang meninggalkan harta karena kelemahannya, yang jika ia memiliki cara untuk mendapatkannya walau dengan bersusah payah.
5.      Mudhthar yaitu orang yang fakirlantaran keadaan yang memaksa seperti orang yang lapar karena tidak punya punya makanan atau orang yang telanjang karena tidak memiliki pakaian.
Para sufi kemudian meluaskan konsep fakir mutlak sedemikian jauh, sehingga Nabi Isa yang menjadi lambang idealnya kemiskinan bagi para sufi generasi awal masih dianggap kurang sempurna, karena kemana-mana beliau masih membawa jarum yang berarti belum putus dengan dunia. Bahkan menurut para sufi india seseorang dianggap zahid jika ia telah fakir.[5]
Kefakiran adalah suatu ibarat tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan, adapun tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan, maka ia tidak disebut fakir, apabila yang dibutuhkan itu wujud dan ia mampu padanya, maka yang dibuhtuhkan itu tidak fakir. Dalam konteks sejarah islam baik zuhud maupun fakir di satu sisi berposisi sebagai maqam, yang berarti hilangnya kehendak kecuali untuk bertemu Allah SWT. Dunia dan harta hanyalah penghalang untuk pertemuan itu serta dianggap sebagai dikotomi dengan-Nya. Dalam hal ini zuhud dan fakir bersifat doktrinal dan historis.  
Disisi tertentu sebagai maqam, zuhud dan fakir berarti bahwa seseorang tidak boleh merancang masa depannya dan harus menjauhi dunia dan harta, karena inti keduanya adalah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia dan harta. Orang hanya boleh memilikinya sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Namun disisi lain terdapat fenomena yang menarik, yaitu ketika keduanya (zuhud dan fakir) dipandang sebagai moral (akhlak) islam, maka yang harus dimiliki setiap muslim dalam menghadapi dunia materi, yaitu sikap Adam Al-Raghbah (tidak tertarik) dan Adam Al-Milki (tidak memiliki). Wujud zuhud dan fakif disini ialah kehidupan yang sederhana, wajar, integeratif,  inklusif dan aktif di berbagai kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Zuhud dan fakir juga pernah menjadi suatu gerakan protes sosial dalam hal ini rumusannya berbeda-beda sesuai dengan kondisi zamannya dan konteks sosialnya. Disini keduanya bersifat historis dan sosiologis yaitu gerakan protes atas ketimpangan sosial pada setiap masanya. Dalam mengekspresikan pola hidup sederhana para sufi menggunakan terminologi fakir, yaitu sebuah sikap yang selalu menggantungkan diri kepada Dzat Yang Maha Kaya, sikap fakir pada kenyataanya akan membawa seorang sufi pada tekanan psikologis bahwa ia sangat kecil dan remeh dihadapan-Nya. Dalam kondisi yang sedemikian dunia tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Dunia bagi sufi adalah peringatan Tuhan, karena itu perlu uluran tangan-Nya untuk lepas dari cengkraman duniawi.
Secara lahiriah seorang sufi memang bergelimang harta, tetapi pada hakikatnya seorang sufi putih dan tidak dikuasai oleh hartanya.
4. Qana’ah
Qana’ah ialah menerima cukup. Qana’ah sendiri mengandung lima perkara, yaitu :
a.       menerima dengan rela apa yang ada.
b.      Memohonkan kepada Tuhan taambahan yang pantas, dan berusaha.
c.       Menerima dengen sabar ketentuan Tuhan.
d.      Bertawakal kepada tuhan.
e.       Tidak tertarik oleh tipu-daya dunia.
Maksud qana’ah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita, menyuruh sabar menerima ketentuan Illahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukurlah jika dipinjami-Nya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal demikian, kita disuruh bekerja, berusaha, bergiat sehabis tenaga, sebab semasa nyawa dikandung badan, kewajiban belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang ada di dalam diri kita, tetapi kita bekerja sebagaimana hidup yang semestinya bekerja.
5. Tawakal
Tawakal adalah berserah diri kepada Allah SWT, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Pada dasarnya kunci kana’ah adalah bahagia, yang dalam bahasa arabnya disebut sa’adah tidaklah didapat kalu tidak ada perasaan qana’ah. Bahagia itu sendiri adalah menanamkan dalam hati perasaan tentram dan damai, baik dalam waktu duka maupun suka, baik diwaktu ada maupun tidak ada dan baik dalam waktu kaya maupun miskin.
Menurut Ja’far bin Muhammad,Buah qana’ah adalah kentraman. Diri yang mencapai ketentraman ketika dalam keadaan susah maka kegembiraan ditimpa susah sama saja kegembiraan ditimpa senang. Baginya kekayaan sama saja kemiskinan, bahaya dan keamanan, diberi dan memberi. Tidak ada rasa bersedih ketika kehilangan, tidak pula merasa bahagia ketika mendapat laba atau untung. Hal itu senantiasa di penuhi redha. Reda yang selalu jadi pati hubungsan antara ‘Abid (makhluk) dan Ma’bud(khalik).



6.      Zuhd
Zud secara literal meninggalkan ,tidak tertarik dan tidak menyukai. Dalam Al-Qur’an misalnya disebut pada surat Yusuf:20 “Dan mereka tidak tertarik (min al-zaahidiin). “Yang dimaksud dengan al-zaahidiin dalam ayat itu mangandung makna “tidak tertarik hatinya” kepada harga jual Yusuf. Kata zuhd(z,h dan d) sendiri,menurut Abu Bakar Muhammad al-Warraq (w.290 H/903M),mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z berarti zinah (perhiasan kehormatan), huruf h,berarti hawa (keinginan),dan huruf d menunjuk kepada dunya (dunia materi)
Dalam perspektif tasawuf ,zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah,padahal terdapat  kesempatan untuk memperolehnya.
7.      Faqr
Dalam tasawuf,faqr berarti senantiasa merasa butuh kepada Alloh.Seorang hamba menyatakan diri tidak memiliki sesuatu,bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal duniawi,merasakan kebutuhan dan ketidakberdayaan dihadapan Alloh.H al ini sesuai dengan firman Alloh, “Wahai manusia,kamulah yang fakir(butuh) kepada Alloh,sedangkan Alloh Maha Kaya Lagi Terpuji.”(QS.Fathir:15)
Jadi,faqir  bukan orang yang tidak punya bekal hidup,tapi orang yang merasa bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi.Ini juga bermakna bahwa faqir itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Alloh.
8.      Qurb
Secara literal,qurb berarti dekat darinya dan kepadanya. Menurut  Sari al-Saqathi,qurb(mendekatkan diri kepada Alloh) adalah taat kepada-Nya.Sementara ,Ruwaym Ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb,menjawab, “Menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya.
Dalam pandang al-Sarraj,qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan  Alloh kepadanya,maka ia mendekat kepada Alloh dengan ketaatannya,dan mengerahkan segenap keinginanya kepada Alloh semata dengan cara mengingat-Nya secara kontinyu baik pada keramaian maupun di kala sendiri
9.      Mahabbah
Mahabbah, secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya.Mahabbah berasal dari kata hibbah,yang berarti benih yang jatuh ke bumi,karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.Kedua,berasal dari kata hubb,yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang sebab bila cinta telah memenuhi hati,tak ada lagi tempat yang lain selain yang dicintainya.Ketiga,berasal dari hibb,yang artinya empat keping kayu penyangga poci air,karena seorang pecinta sejati akan menerima apa saja yang dilakukan kekasihnya dengan suka hati.Keempat,berasal dari kata habb (bentuk jamak dari habbah),yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta. Kelima,istilah mahabbah juga berasal dari kata habab,yakni gelembung-gelembung air dan luapan-luapan yang turun ketika hujan lebat.Halinikarena cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasihnya.[8]



KESIMPULAN
Ajaran tasawuf merupakan ajaran yang selalu memelihara kesucian diri,beribadah,hidup sederhana,rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap yang mulia.
Dalam ajaran tasawuf terdapat implementasi tasawuf di kehidupan,seperti: Qona’ah,dzikir,tarikat,fakir,tawakal untuk dapat diterapkan dalam kehidupan kita.Dengan diterapkanya perbuatan-perbuatan tersebut maka kehidupan kita  akan lebih terarah dan lebih dekat kepada Alloh SWT















DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin.Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Siraj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
Syukur, Amir. Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003.
Hamka. Tasauf Modern, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1987.
http://tarbiyah-iainantasari.ac.id di akses tanggal 1-12-2012


[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2009) h 177-178
[2] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) hlm. 34
[3] Amir Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003) hlm.  
[4]Abuddin Nata, hlm. 267-269
[5]http://tarbiyah-iainantasari.ac.id di akses tanggal 1-12-2012.
[6] Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 219
[7]Ibid. hlm. 232
[8] Media Zainu Bahri, Menebus Tirai Kesendirian-Nya, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 56-87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar